BLANTERVIO103

Kapitalisasi Kebijakan; Distorsi Strategi Meraih Kekuasaan

Kapitalisasi Kebijakan;   Distorsi Strategi Meraih Kekuasaan
Minggu, 23 Juni 2019
Oleh: DR Mursalim Nohong, SE, MSI
KPS Magister Keuangan Daerah FEB Unhas

Dalam beberapa hari ini, perhatian sebagian publik di tanah air bahkan dunia tersita dengan tontonan yang sedang dilakonkan oleh Mahkamah Konstitusi. Lakon yang sedang dimainkan adalah upaya penegakan kedaulatan hukum dan keadilan demokrasi buah dari pemilihan presiden bulan april 2019 yang lalu. Bukan saja saksi dengan latar belakang dan kemampuan bahasa yang amat sangat sederhana diikutkan dalam drama hukum dan politik tersebut tetapi beberapa ahli dengan latar belakang pendidikan dan gelar akademik tertinggi juga menjadi bagian dari upaya pembuktian baik sang pemohon, termohon juga pihak terkait. Satu dari sekian skenarionya yang cukup menarik adalah ketika argumentasi pihak termohon dan terkait sulit dibedakan akibat intercept yang sangat kecil.

Ditengah persidangan muncul sejumlah bahasa dan argumentasi yang sangat susah dipahami oleh pihak lain sehingga memaksa penonton untuk memindahkan channel TV ke acara pilihan lainnya seperti Film Kartun atau Box Office Film. Istilah Kapitalisasi kebijakan merupakan salah satu term yang cukup menyita perhatian paling tidak oleh pemerhati kebijakan publik maupun praktisi keuangan perusahaan.

Penelusuran term kapitalisasi kebijakan agak sulit untuk menemukannya secara langsung apalagi jika dipasangkan dengan kata lainnya seperti politik dan kebijakan. Akan tetapi istilah ini lebih mudah jika dipasangkan dengan term keuangan dan akuntansi dimana definisinya mengacu pada penentuan ambang batas maksimum dan minimun dalam sebuah pasar atau transaksi.  Mengutip salah satunya, kapitalisasi aset menunjukkan batasan nilai sebuah barang atau aset dikelompokkan menjadi aset tetap perusahaan atau organisasi pemerintah. Kapitalisasi seringkali diartikan sebagai nilai keseluruhan aset perusahaan atau transaksi dalam sebuah pasar. Akan tetapi istilah kapitalisasi tentu akan berbeda maknanya jika diuraikan dalam sebuah wacana politik dan kebijakan.

Dalam sebuah literatur, diuraikan bahwa distorsi demokrasi yang paling sistematis dan terstruktur dalam sebuah pemilihan pejabat publik adalah kapitalisasi kekuasaan atau kapitalisasi kebijakan. Kekuasaan menjadi puncak dari sebuah pertarungan politik sedangkan kebijakan menjadi salah satu “kendaraan” untuk merebut kekuasaan tadi. Incumbent memiliki kesempatan untuk mengkapitalisasi sebuah kebijakan untuk merebut kekuasaan. Ketika kekuasaan diburu seperti seekor binatang ekonomi; mesin uang, pengumpul kekayaan, dan laba usaha yang dikumulasi dan dapat diwariskan secara turun temurun, maka praktik kapitalisasi akan muncul. Dengan kata lain, untuk memperoleh kekuasaan dilakukanlah cara-cara yang pernah dikonsep oleh machiavellian. Segala cara menjadi serba boleh dan halal untuk tujuan yang diburu. Etika, moral dan segala norma dan hukum tentang baik-buruk, benar-salah, halal-haram dikesampingkan atau bahkan dibuang jauh. Nalarnya jelas dan sederhana: memburu uang (sebagai buah dari kekuasaan) harus dengan uang. Oleh karena itu, uang tidak pernah memiliki nasab; tidak belajar etika dan moral; tidak pula diperkenalkan dengan norma apalagi yang namanya Agama.

Seorang yang berkeinginan memperoleh uang melalui kekuasaan harus bisa menyiapkan atau memiliki uang yang salah satunya diperoleh melalui kapitalisasi kebijakan tadi. Jangankan untuk menjadi presiden sebuah negara, untuk menjadi penguasa tingkat Desa, seseorang wajib menyiapkan belasan, puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Untuk menjadi penguasa Kabupaten atau Kota, seseorang harus menggelontorkan belasan atau bahkan puluhan milyar rupiah.  Alasan pembenarannya adalah uang tersebut digunakan untuk memobilisasi calon pemilih atau pengganti uang transpor atau biaya konsumsi sosialisasi atas waktu yang diluangkan mendatangi atau mendengar apa yang disampaikan oleh calon kontestan.  Anehnya, praktik kapitalisasi kekuasaan dan kapitalisasi kebijakan, sudah disepakati bersama seluruh pihak yang terlibat. Meminjam istilah yang digunakan dalam sidang Mahkamah Konstitusi, kesepakatan antara pihak termohon dan pihak terkait.

Sadar atau tidak, sebuah kebijakan diambil tentu untuk memenuhi kepentingan pihak tertentu. Meskipun sesungguhnya kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak pada pemerintahan, organisasi dan kelompok sektor swasta, serta individu. Kebijakan dapat berbentuk keputusan yang dipikirkan secara matang dan hati-hati oleh pengambil keputusan puncak dan bukan kegiatan-kegiatan berulang yang rutin dan terprogram atau terkait dengan aturan-aturan keputusan. Kebijakan pasti strategis, lahir dari proses berpikir yang hati-hati serta tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan. Oleh karena itu, praktik kapitalisasi itu hanyalah distorsi dari strategi untuk menggapai peluang berkuasa. Distorsi ini akan melahirkan korban pada pihak lain (biasanya rival dalam persaingan) bahkan lebih besar dari itu, yaitu kesejahteraan masyarakat. (*) 
Share This Article :

TAMBAHKAN KOMENTAR

3160458705819572409